Masih
ingatkah Anda dengan kisah tiga orang bani Israil yang diuji oleh Allah Subhanahu
wata’aladengan penyakit yang membuat orang-orang yang di sekeliling mereka
merasa jijik? Betul, salah satu di antara mereka berpenyakit belang, kulitnya
rusak dan jelek; yang lain kepalanya tidak ditumbuhi rambut sama sekali; dan
yang ketiga buta, tidak dapat melihat. Mereka diuji oleh Allah Subhanahu
wata’ala dengan kesenangan
berupa kesehatan, sembuh dari penyakit yang mereka derita, bahkan diberi-Nya
pula kekayaan. Namun, di akhir cerita, orang yang terkena penyakit kulit dan
botak dikembalikan oleh Allah Subhanahu wata’ala seperti semula. Adapun yang buta tetap
melihat, bahkan kekayaannya diberkahi. Demikianlah yang dikisahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah mendengarnya dari
seorang pendeta atau ahli ilmu mana pun. Tidak lain, hal itu berasal dari Allah Subhanahu
wata’ala.
Dua
orang pertama dikembalikan karena mengingkari kesenangan yang telah mereka
rasakan. Itulah akibat mengkufuri nikmat. Adapun orang yang ketiga tetap dengan
kesehatan dan kekayaannya. Itulah buah dari rasa syukur. Itulah sunnah Allah Subhanahu
wata’ala yang membagi manusia
menjadi dua golongan: yang bersyukur dan yang kafir. Tentu saja yang paling
dibenci oleh AllahSubhanahu wata’ala adalah kekafiran dan para pelakunya,
sedangkan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu
wata’ala adalah syukur dan
orang-orang yang bersyukur. Allah Subhanahu
wata’alaberfirman,
إِن
تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ
الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ ۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَىٰ
“Jika kamu kafir, sesungguhnya Allah tidak memerlukan
(iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba- Nya; dan jika kamu
bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (az- Zumar:
7)
Iman
itu terdiri atas dua bagian: syukur dan sabar. Syukur adalah pencarian terbaik
orang-orang yang berbahagia. Kedudukannya di dalam agama sangat mulia. Kadang
Allah Subhanahu wata’alamenggandengkannya
dengan zikir atau dengan keimanan. Bahkan, Allah Subhanahu
wata’alamengaitkan adanya tambahan karena adanya syukur, sebagaimana
firman-Nya,
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim:
7)
Allah Subhanahu
wata’ala menerangkan pula
bahwa mereka yang pandai bersyukur itulah yang mengabdi dengan sebenar-benarnya
kepada Allah Subhanahu
wata’ala, sedangkan orang-orang yang tidak tahu bersyukur kepada- Nya,
tidaklah tergolong orang-orang yang beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
وَاشْكُرُوا
لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Semua
yang dirasakan oleh manusia di dunia ini tidak lepas dari dua hal. Yang
pertama, sesuai dengan keinginan jiwa manusia; dan yang kedua, tidak sesuai
dengan jiwanya. Yang pertama bisa berupa kesehatan, keselamatan, kekayaan,
kedudukan, dan berbagai kesenangan lainnya. Adapun yang kedua adalah kebalikan
atau lawannya. Kedua hal ini diturunkan oleh Allah Subhanahu
wata’alake tengah-tengah manusia untuk menjadi ujian bagi mereka.
Demikianlah firman Allah Subhanahu
wata’ala,
وَنَبْلُوكُم
بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (al-Anbiya: 35)
Artinya,
Kami memberi ujian kepada kalian dalam bentuk musibah dan kesenangan, agar Kami
melihat siapa di antara kalian yang bersyukur dan siapa yang kafir. Siapa pula
yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Akan tetapi, sebagaimana kata
sebagian salaf yang saleh, “Terhadap ujian berupa musibah, bisa saja seorang
mukmin dan kafir itu sabar menghadapinya. Tetapi, tidak ada yang lulus
menghadapi ujian yang berujud kesenangan selain orang yang benar-benar jujur
dan benar keimanannya (shiddiq).” Sahabat yang mulia,
‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhu, dengan penuh kerendahan hati, tanpa menganggap suci dirinya meski
telah dipastikan masuk surga, masih mengatakan, “Kami diuji dengan kesulitan,
tetapi kami mampu bersabar. Namun, ketika diuji dengan kesenangan, kami tidak
sabar menghadapinya.” Kalau seorang sahabat semulia ini menyadari kelemahan
dirinya, padahal beliau memiliki keutamaan yang tidak dapat ditandingi oleh
orang-orang yang sesudahnya, bahkan terkenal pula sebagai orang yang dermawan
dan zuhud, bagaimana kiranya dengan mereka yang hidup sesudah zaman beliau? Wallahul
musta’an.
Untuk
menanamkan bagaimana jelasnya hakikat syukur dan kufur, berikut buahnya
masing-masing, Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya n sering membuat
perumpamaan yang mudah dicerna. Perumpamaan itu kadang berupa kisah yang pernah
terjadi di masa lalu. Karena Allah Subhanahu
wata’aladan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkannya kepada kita, sudah
pasti itu semua adalah benar dan pasti terjadi di alam nyata, bukan dongeng.
Bahkan, kisah tersebut sarat dengan pelajaran hidup yang berharga buat mereka
yang masih mempunyai hati dan mau mencurahkan perhatiannya terhadap kisah
tersebut. Sebagian perumpamaan itu telah diceritakan dalam edisi sebelumnya.
Kali ini adalah kiash tentang dua orang yang punya hubungan dekat, yang satu
kaya tetapi musyrik, sedangkan yang lain mukmin tetapi miskin. Dari kisah ini
kita akan memahami arti syukur dan bahaya mengingkari (kufur) nikmat/kesenangan
yang telah dilimpahkan oleh Allah Subhanahu
wata’ala.
Musyrik yang Kaya & Fakir yang Mukmin
Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukil dari ‘Abdullah
bin al-Mubarak, dari Ma’mar, dari ‘Atha’ al-Khurasani yang menceritakan bahwa
dahulu ada dua laki-laki yang melakukan kerja sama. Keduanya memperoleh laba
sebesar delapan ribu dinar. Ada juga pendapat yang mengatakan, keduanya adalah
dua bersaudara yang mendapat warisan sebanyak itu juga. Kemudian, keduanya
membagi rata harta tersebut. Salah seorang dari mereka membeli tanah seharga
seribu dinar. Yang lain, demi melihat temannya membeli tanah seharga seribu
dinar, berkata, “Ya Allah, Si Fulan telah membeli tanah seribu dinar, maka Aku
membeli tanah di surga dari-Mu seharga seribu dinar.” Dia pun bersedekah dengan
seribu dinar itu. Lelaki pertama mulai membangun rumah dengan harga seribu
dinar, maka lelaki kedua pun berkata pula, “Ya Allah, si Fulan telah membangun
rumah seharga seribu dinar, maka Aku membeli rumah di surga dari Engkau seharga
seribu dinar.” Lalu dia pun menyedekahkan seribu dinar yang kedua.
Lelaki
pertama kemudian menikahi seorang wanita dengan mahar seribu dinar, maka yang
kedua berkata pula, “Ya Allah, si Fulan telah menikahi seorang wanita dengan
seribu dinar, maka Aku melamar dari-Mu seorang wanita surga dengan seribu
dinar,” dan dia pun menyedekahkan seribu dinar berikutnya. Lelaki pertama
membeli pelayan dan perabotan dengan seribu dinar. Lelaki kedua mengetahuinya
dan berkata, “Ya Allah, si Fulan membeli pelayan dengan seribu dinar, maka Aku
membeli dari-Mu pelayan dan perabotan dengan seribu dinar,” lalu dia pun
menyedekahkan seribu dinar terakhir. Akhirnya, 4.000 dinar di tangan lelaki
kedua itu habis. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Rumah, dia tidak punya, apalagi perabotannya, atau istri dan pelayan
yang membantunya mengurusi rumah itu. Usaha atau ma’isyah,
dia juga tidak punya. Bangkrut, itulah istilah yang lumrah diberikan kepadanya.
Suatu ketika dia berniat menemui temannya, mudah-mudahan dia bisa memperoleh
kebaikan dari temannya itu.
Dia
pun duduk di jalan yang biasa dilalui oleh temannya. Begitu tiba di hadapannya,
lelaki yang kehabisan uang itu berdiri. Lelaki yang pertama, yang telah
menghabiskan hartanya untuk membeli tanah, rumah dan seterusnya, berhenti dan
menatap orang yang di hadapannya. Dalam keadaan terkejut dia berkata, “Fulan?
Ada apa denganmu?” “Betul,” kata lelaki kedua, “Saya ada keperluan mendesak.”
“Mana hartamu, bukankah kamu sudah membawa separuhnya?” Lelaki kedua itu
menceritakan apa yang dilakukannya selama ini. Lelaki pertama berkata dengan
sinis, “Pergilah, aku tidak akan memberimu sepeser pun.” Dalam riwayat lain,
disebutkan, bahwa lelaki kedua dibawa oleh yang pertama berkeliling
melihat-lihat harta kekayaannya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
وَاضْرِبْ
لَهُم مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ
وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا () كِلْتَا
الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا ۚ وَفَجَّرْنَا
خِلَالَهُمَا نَهَرًا () وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا () وَدَخَلَ جَنَّتَهُ
وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا ()
وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ
خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا () قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ
أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ
رَجُلًا () لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا
() وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا () فَعَسَىٰ
رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا
مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا () أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا
فَلَن تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا () وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ
كَفَّيْهِ عَلَىٰ مَا أَنفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا
وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا () وَلَمْ تَكُن لَّهُ
فِئَةٌ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مُنتَصِرًا () هُنَالِكَ
الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ ۚ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا
Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan dua orang
laki-laki yang Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua
buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma.
Di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu
menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami
alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, Dia mempunyai kekayaan besar,
maka dia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan
dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih
kuat.” Dia memasuki kebunnya dalam keadaan
zalim terhadap dirinya sendiri; dia
berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya. Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Jika
sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat
kembali yang lebih baik daripada kebunkebun itu.” Kawannya (yang mukmin)
berkata kepadanya—ketika dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu kafir
kepada (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi, aku
(percaya bahwa) Dialah Allah,
Rabbku, dan aku tidak
mempersekutukan seorang pun dengan
Rabbku.
Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki
kebunmu, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah (sungguh atas kehendak Allah
semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).’
Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
maka mudah-mudahan Rabbku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik
daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan dia mengirimkan ketentuan (petir)
dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau
airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat
menemukannya lagi.” Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan
kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk
itu, sedangkan pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata,
“Aduhai kiranya dahulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.”
Dan tidak ada bagi dia segolongan pun
yang akan menolongnya selain Allah; dan
sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.
Di sana, pertolongan itu hanya dari
Allah yang haq. Dia adalah sebaikbaik pemberi
pahala dan sebaik-baikpemberi balasan. (al-Kahfi: 32—44)
Allah Subhanahu
wata’ala memerintah Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wasallam membuat
tamsil untuk orang-orang kafir Quraisy dan selain mereka. Tamsil itu
menerangkan tentang dua orang yang bersahabat. Salah satu dari mereka adalah
petani yang kaya raya dengan sawah ladang yang subur dan hasil panen yang
berlimpah serta pengikut yang banyak. Yang satunya adalah lelaki miskin, serba
kekurangan. Suatu ketika, petani kaya itu memasuki kebunnya bersama temannya
yang miskin. Kebun itu dipenuhi anggur dan kurma yang lebat buahnya. Di
selasela kebun itu, mengalir sebuah anak sungai yang jernih. Petani kaya itu
dengan bangga memerhatikan anggur – anggur bergelantungan dan buah kurma yang
berjuntai di tandan-tandannya. Dia pun berkata kepada temannya, “Hartaku lebih
banyak darimu, demikian pula pengikutku.” Si Kaya sengaja menyebut-nyebut
kekayaan dan kedudukannya untuk membanggakan dirinya, bukan sebagai tanda
syukur kepada Allah Subhanahu
wata’ala yang telah
memberinya kenikmatan tersebut.1
Si
Kaya melanjutkan, “Aku tidak yakin anggur dan kurma yang ada di kebun ini akan
berhenti berbuah….” Rasa bangga dengan anggur yang berbuah lebat, daun-daunan
yang hijau, air jernih yang mengalir di sela-sela tanamannya, serta kurma yang
berjuntai di tandan-tandannya, membuatnya lupa bahwa dunia tidak diciptakan
untuk kekal bagi siapa pun, bahkan dia pun tidak pula akan selamanya dapat
merasakan lezatnya dunia. Dengan pandangannya yang sempit tentang dunia ini,
dia pun berani mengingkari adanya kehidupan di seberang kematian. Dia berkata
dengan sombongnya, “Aku pun tidak percaya kiamat akan terjadi. Kalaupun aku
mati, pasti aku akan menerima kebaikan….” Menurut dia, andaikata kiamat itu
terjadi juga, maka sebagaimana Allah Subhanahu
wata’ala telah memberinya
kesenangan hidup selama di dunia, di akhirat pun Allah Subhanahu
wata’ala pasti memberinya
kesenangan. Anggapan seperti ini hampir merata ada di dalam hati orang-orang
yang tidak beriman kepada hari kemudian. Mereka mengira, kalau di dunia sudah
merasakan kesenangan, di akhirat juga pasti merasakannya. Atau sebaliknya, di
dunia mereka dalam keadaan sengsara, di akhirat juga pasti sengsara. Temannya
yang miskin kembali mengingatkan (sebagaimana firman Allah Subhanahu
wata’ala),
أَكَفَرْتَ
بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا
“Apakah kamu kafir kepada (Allah) yang menciptakan kamu
dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang
laki-laki yang sempurna?”
Bagaimana
bisa kamu tidak beriman kepada Allah Subhanahu
wata’ala dan hari kebangkitan,
padahal Dia telah menciptakanmu dari setetes air yang hina lalu menjadikanmu
manusia yang utuh dan sempurna? Dia melanjutkan (sebagaimana firman Allah Subhanahu
wata’ala),
لَّٰكِنَّا
هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا
“Tetapi, aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.”
Meskipun
aku miskin dan sangat memerlukan bantuan, aku tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu
wata’ala dengan sesuatu pun.
Aku tidak akan menukar agamaku. Aku memang miskin, harta dan anak-anakku lebih
sedikit daripada milikmu, tetapi aku yakin Rabbku (Allah) akan memberi aku
lebih baik dari yang diberikan-Nya kepadamu dan menimpakan bencana kepada
kebunmu, lalu kamu akan melihatnya berubah, hilang warna hijau dan
keindahannya. Atau, airnya menyusut ke dalam tanah, hingga kamu tidak bisa
mencarinya. Mengapa kamu tidak mengucapkan,‘Masya
Allah, la
quwwata illa billah,’ setiap
memasuki kebunmu? Bukankah tidak ada satu pun yang dapat memeliharanya selain
Allah Subhanahu
wata’alal?” Akan tetapi, si Kaya tidak mau memerhatikan nasihat tersebut.
Suatu hari, si Kaya itu memasuki kebunnya untuk menikmati pemandangan indah
yang ada di sawah ladangnya.
Begitu
kakinya memasuki pintu kebun itu, dia terbelalak dan tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Kebunnya hancur. Tidak ada lagi anggur ranum yang
bergelantungan ataupun tandantandan kurma yang bernas menjuntai. Bahkan,
daun-daun hijau yang menghiasi tanamannya berserakan di atas tanah. Dia pun
memukulkan tapak tangannya satu sama lain karena ngeri melihat kehancuran di
depan matanya. Saat itu juga dia teringat ucapan temannya, maka dia pun
menyesal, “Duhai kiranya aku tidak menyekutukan Rabbku dengan sesuatu apa pun.”
Tetapi, penyesalannya terlambat karena kebun itu tidak lagi bermanfaat baginya.
Itulah akibat kekafirannya dan tidak bersyukur atas kesenangan yang
diperolehnya. Dia menyebutnyebut kesenangan itu hanya untuk membanggakan diri
terhadap orang lain, bukan untuk mengingat Allah Subhanahu
wata’ala yang telah
memberinya kesenangan tersebut.
Karena
kesombongannya itu, Allah Subhanahu wata’ala melenyapkan keindahan kebunkebunnya
dan menggantikannya dengan puing-puing serta tumpukan daun, pokok kurma, dan
anggur yang tidak ada gunanya. Semua kering, hancur luluh. Itulah perumpamaan
yang Allah Subhanahu wata’ala buat untuk umat manusia, baik
orang-orang Quraisy yang dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam saat itu
maupun yang datang setelah mereka dan bangsa lainnya. Sebuah tamsil yang
menerangkan keadaan orang-orang Quraisy yang menentang nikmat paling mulia yang
dilimpahkan oleh Allah Subhanahu
wata’ala kepada mereka, yaitu
diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke tengah-tengah mereka dari kalangan
mereka sendiri. Mereka diingatkan akan akibat buruk yang akan mereka rasakan
jika kekafiran itu terus melekat pada diri mereka. Kemudian, Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
هُنَالِكَ
الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ ۚ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا
“Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang haq, Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.”
Pada
hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala hanya akan membela orang-orang yang
beriman.
Beberapa Faedah dan Hikmah
Kisah
ini mengingatkan kita tentang beberapa pelajaran hidup sebagai berikut.
1. Di
dalam hidup ini selalu ada ujian yang silih berganti. Ujian itu tidak hanya
berupa kesulitan, tetapi juga kesenangan dan kemudahan. Kisah-kisah orangorang
yang terdahulu adalah pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang datang
belakangan.
2.
Dunia ini manis dan menipu, terkhusus terhadap orang-orang yang lemah iman.
3.
Rezeki itu di tangan Allah Subhanahu
wata’ala. Dia-lah yang telah menciptakan manusia, sehingga tentu tidak akan
membiarkan mereka sia-sia begitu saja.
4.
Kewajiban untuk beriman kepada hari kebangkitan/pembalasan, bahwa setiap orang
pasti akan datang menemui Allah Subhanahu
wata’ala untuk dihisab dan
diberi balasan sesuai dengan amalannya.
5.
Kekafiran dan kemaksiatan adalah perbuatan zalim terhadap diri sendiri.
Keduanya tidak akan menimbulkan mudarat kecuali terhadap diri sendiri.
6.
Proses penciptaan manusia mulai dari setetes mani hingga menjadi manusia yang
sempurna menunjukkan kekuasaan Allah Subhanahu
wata’ala sekaligus menegaskan
keberhakan-Nya untuk menerima peribadatan dari seluruh makhluk-Nya, tidak ada
sekutu bagi-Nya.
7.
Disyariatkan untuk berzikir menyebut nama Allah Subhanahu
wata’ala ketika melihat
kebaikan dan merasakan nikmat.
8.
Kesyirikan dan kemaksiatan adalah sebab rusaknya harta dan hilangnya rezeki.
9.
Bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala akan mengundang nikmat yang
berikutnya, sekaligus memelihara nikmat yang sudah ada. Wallahu
a’lam.